YURISPRUDENSI

PALU HAKIM

Istilah Yurisprudensi lama dikenal dalam studi hukum. Sebagaimana telah dikenal dalam setiap studi Pengantar Ilmu Hukum, bahwa di dunia ini terdapat dua madzhab besar hukum, yaitu penganut system hukum Anglo Saxon atau Common Law dan penganut system Kodifikasi atau Sistem Hukum Eropa Kontinental atau juga disebut Sistem Civil-Law. Oleh karena itu sebelum kita membicarakan tentang yurisprudensi, terlebih dahulu perlu dijelaskan perbedaan penegertian istilah yurisprudensi pada kedua system hukum tersebut.

Istilah Yurisprudensi, berasal bahasa Latin, yaitu dari kata “jurisprudentia” yang berarti pengetahuan hukum. Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis peradilan sama artinya dengan kata” jurisprudentie” dalam bahasa Belanda dan “jurisprudence” dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau hukum peradilan. ( Purnadi Purbacaraka , dkk, 1995: 121 )

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2001:1278 ) kata yurisprudensi diartikan : 1. ajaran hukum melalui peradilan, 2. himpunan putusan hakim.

Pengertian Yurisprudensi

Menurut istilah, terdapat berbagai definisi yang dikemukakan pada Ahli Hukum. Sebagai contoh berikut dikemukakan beberapa variasi definisi yurisprudensi :

Menurut Kansil ( 1993: 20 ) yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.

Menurut Sudikno Mertokusumo ( 1991 : 92 ) yurisprudensi adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa dan siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Secara ringkas singkat, menurut Sudikno, yurisprudensi adalah putusan pengadilan.

Menurut Sudargo Gautama ( 1995 : 147 ), yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan Pengadilan, dalam hal pengambilan suatu keputusan oleh Mahkamah Agung atas suatu yang belum jelas pengaturannya, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, diikuti oleh Hakim bawahan, yang dihimpun secara sistematis.

Menurut, A. Ridwan Halim (1998 : 57 ) yang dimaksud yurisprudensi adalah suatu putusan hakim atas suatu perkara yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang yang untuk selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya yang mengadili kasus-kasus serupa.

Menurut Subekti ( 1974 : 117 ) yurisprudensi adalah putusan Hakim atau Pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap.

Lantas, bagaimana pengertian yurisprudensi dalam praktik pengadilan?

Memang tidak ada statemen resmi dari institusi peradilan tentang pengertian yurisprudensi. Akan tetapi dalam berbagai pelatihan, para pejabat Mahkamah Agung memberikan pernyataan bahwa yang dimaksud yurisprudensi hanyalah putusan Mahkamah Agung. Dalam praktik, putusan-putusan Mahkamah Agung yang terhimpun dalam bentuk buku dengan judul : YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG RI itulah yang disebut sebagai yurisprudensi.

Dari pernyataan tersebut diperoleh pengertian bahwa cakupan yurisprudensi yang menurut definisi para ahli hukum agak luas mengalami reduksi.

Dalam sistem peradilan di Indonesia sumber hukum yang paling utama adalah undang-undang. Apabila masalah yang disengketakan terdapat ketentuannya dalam hukum positif atau dalam kodifikasi perundang-undangan, penyelesaian sengketa mesti tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal yang demikian, hakim tidak boleh mengambil putusan yang menyimpang dan bertentangan (contrary) dengan ketentuan undang-undang tersebut sesuai dengan asas ketentuan undang-undang harus diutamakan dan diunggulkan (statute law must prevail) dari ketentuan hukum yang lain.

Namun, jika tidak ada suatu undang-undang yang mengatur, maka hakim dengan kewenangannya dapat menggalihukum (rechtsvinding) dan memutus sesuai dengan hati nurani berdasarkan nilai-nilai keadilan. Kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk mengambil suatu kebijaksanaan dalam memutus perkara diatur dalam Pasal 27 UU no. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman jo Pasal 28 ayat (1) UU nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman jo Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan: ‚Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam yurisprudensi terdapat dua asas yang mempengaruhi seseorang hakim itu mengikuti putusan hakim yang terdahulu atau tidak yaitu asas preseden dan asas bebas.

Asas preseden mengandung pengertian bahwa seorang hakim dalam memutus perkara tidak boleh menyimpang dari hakim yang lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Asas preseden ini dipakai di negara-negara penganut Common Law. Sifat Preseden dalam sistem Common Law adalah the binding force of precedent atau disebut juga asas stare decisis. Bagi negara Common Law (Inggris, Amerika Serikat dan Afrika Selatan), yurisprudensi memang merupakan sumber hukum terpenting. Judge made lawmengambil tempat terpenting di samping statute law (hukum undang-undang). Putusan hakim berdasarkan asas preseden ini mempunyai kekuatan yang mengikat (binding authority).

Asas bebas dalam yurisprudensi mengandung pengertian bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau yang sederajat tingkatannya. Asas ini dipakai oleh negara-negara penganut Civil Law (Belanda, Perancis, dan Indonesia). Di negara penganut Civil Law hakim terikat pada putusan hakim lain, apabila sesuatu peraturan dalam putusan hakim selalu diikuti (telah terbentuk yurisprudensi yang tetap) maka peraturan tersebut dapat merupakan hukum objektif, bukan berdasar atas keputusan hakim, melainkan berdasar atas kebiasaan, yakni berdasarkan kesadaran hukum yang umum, yang menjelma dalam garis-garis tingkah laku para hakim yang tetap. Secara hukum, kekuatan mengikat yurisprudensi bagi negara-negara dengan sistem hukum Civil Law hanya mengikat secara persuasive precedent sehingga hakim-hakim dibawahnya atau setelahnya diperkenankan tidak mengikuti yurisprudensi.

Dalam praktik, hakim terkadang dihadapkan pada kondisi harus mengadili suatu perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas. Dalam keadaan seperti itu hakim tidak boleh menolak perkara. Hal ini sesuai dengan Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B.) yang menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan, tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili. Lebih lanjut Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan:

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Dengan demikian, apabila undang-undang tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara tersebut, maka hakim dapat Membentuk ketentuan/ peraturan sendiri (penemuan hukum). Putusan hakim yang berisikan suatu ketentuan/ peraturan dapat menjadi dasar putusan hakim lainnya/ kemudiannya untuk mengadili perkara yang serupa dan putusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi pengadilan.

++Sekian++